Selasa, 01 November 2011

DAMPAK REVOLUSI ILMU TERHADAP PENDIDIKAN iSLAM

REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEMIKIRAN ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM
Penulis: Muhammad Syarif
NIM: 201010290211003

PENDAHULUAN
            Sains merupakan bidang ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, dan tentu saja selalu dibutuhkan oleh semua orang. Mengapa tidak, karena setiap kita lihat dan mengamati dari semua lini kehidupan hamper tidak ada satu noktahpun yang tidak disentuh ataupun dirasakan oleh manusia, terutama sekali implikasi dan aplikasinya dalam bentuk tekhnologi. Munculnya sains/tekhnologi semacam itu tidak terlepas dari dobrakan yang dilakukan oleh para tokoh ilmuwan (kerap disebut sebagai “pemberontakkan terhadap positivisme”)[1] seperti Thomas Samuel Kuhn yang menolak paham masa lalu yang beranggapan bahwa setiap bentuk ilmu pengetahuan berawal dari pengalaman dan ilmu pasti dan menolak adanya ilmu metafisika.
            Thomas S. Kuhn merupakan ilmuwan yang “berjasa” dalam memberikan kontribusi yang besar untuk mengubah cara pandang lama (The old Story) ke pemikiran yang betul-betul mengubah tradisi tersebut dengan sebuah “Paradigma baru” (The new Story) dengan salah satu teori terkenalnya yaitu teori kuantum. Thomas S. Kuhn mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika yang mendalami sejarah Ilmu, dan lewat tulisannya The Strukture of Scientific Revolutions (1962), ia dengan gigihnya menganjurkan agar setiap sikap untuk selalu berguru pada sejarah ilmu karena titik pangkal dari segala bentuk penyelidikan berawal dari sejarah masa lalu yang harus dikaji dan dirombak dengan suatu gagasan baru melalui revolusi ilmiah.[2]         
            Dalam “The structure of Science Revolution”, Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa.
Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang baru. Begitu juga yang di maksud dengan revolusi sains atau revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya orang mencampakkannya serta mencita-gunakan paradigma yang baru yang sekiranya lebih rasional dan logis.
Dulu misalnya, orang hanya mengetahui hanya ada lima planet di cakrawala kita. Kemudia dengan laju-pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ditemukan kembali tiga planet baru dan ribuan planet kecil, hal ini mengindikasikan bahwasanya kemajuan dari aspek astronomi kian pesat.
Setiap masyarakat yang beradap sekarang percaya bahwa bumi dengan semua anggota tata surya beredar mengelilingi matahari, padahal semula orang beranggapan, bahwa bumilah pusat alam semesta. Semua benda angkasa beredar mengelilingi bumi. Inilah yang di sebut revolusi astronomi.
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi yang mengakibatkan timbulnya suatu dampak yang sangat luar biasa  adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Menurut Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan.

PEMBAHASAN
Anomali dan munculnya penemuan Sains
Pandangan Thomas Samuel Kuhn tentang perkembangan Ilmu
Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik.  Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah.
Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing,  karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir.  Sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan diantara mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epicurus, teori Aristoteles, atau teori Plato, satu kelompok menganggap cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda itu dan mata; yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata[3] di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri.  Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri.
Walaupun aktivitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir sesuai dengan pandangan yang dianut, hal ini tetap memberikan sumbangan yang penting kepada jumlah konsep, gejala, teknik yang dari padanya suatu paradigma tunggal akan diterima oleh semua aliran-aliran ilmuan tersebut, dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori.
Sains dalam perspektif Historis
            Ilmuwan seperti Issac Newton ataupun Galileo Galilei merupakan salah satu ilmuwan yang membangkitkan “gairah” para ilmuwan yang memiliki keyakinan adanya paradigma yang harus dibangun untuk membuktikan teori-teori sebelumnya. Para ilmuwan seperti Thomas S. Kuhn memiliki suatu anggapan bahwa Newton ataupun Galilei memperbaharui ilmu. pengetahuannya tanpa dukungan dan pengaruh dari factor-faktor lainnya. Sehingga terciptalah sebuah keyakinan bahwa mereka seakan bekerja secara individual dan tanpa berbuat kesalahan.[4]
            Dalam hal ini, para ilmuwan mulai mengamati dan mengkaji keadaan tersebut dengan kritis, sehingga mendapatkan suatu kesimpulan dan pembuktian terhadap teori-teori klasik (Newton dan Galilei) ternyata banyak melakukan kesalahan dalam praktek ilmiahnya. Dalam kegiatan ilmunya, mereka hanya menggunakan cara kerja yang tidak sesuai dengan criteria kerja ilmiah yang ideal. Kalaupun mereka melakukan eksperimen-eksperimen, itu dimaksudkan untuk mendukung kesimpulan yang telah dibuatnya terlebih dahulu secara a priori. Bahkan Newton membuat hipotesis tanpa dasar empiris apapun.[5]
Para stage ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Dan hal inilah merupakan ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.  Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demkian, didalam paradigma tersebut tercakup :
Beberapa komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Dengan demikiann, hukum “gerak” Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
Beberapa cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berbagai tipe situasi, beberapa instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri, beberapa prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma, bebrapa keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis (dalam paradigma Newtonian) meliputi perencanaan teknik matematik untuk menangani gerak suatu planet yang tergantung pada beberapa gaya tarik dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan hukum Newton pada benda cair. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Tanggapan Kuhn terhadap Krisis Revolusi
Walaupun sasaran normal adalah memecahkan teka-teki science dan bukan mengahsilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, gejala-gejala baru dan tidak terduga berulangkali muncul dan tersingkap oleh ilmiah tersebut yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru.
Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang sebagai hal serius yang dapat menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut :
a) Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
b) Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada stage ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis yang dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja.  Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Setiap krisis selalu diawali dengan penngkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas.
Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama.  Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan.
            Oleh karena itu, dalam diskusi dan adu argumen antara pendukung paradigmayang bersaing tersebut adalah untuk mencoba meyakinkan dan bukan memaksakan paradigma. Sebab tidak ada argumen logis yang murni yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan  paradigma.
            Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan individual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan “Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan “religious conversion” (pertukaran agama).
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn dalam sebuah tulisannya yang dikutip Tjun Surjaman bahwa revolusi sains dianggap sebagai episode perkembangan nonkomulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan.[6] Dengan kata lain, dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.             
Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ekstra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.

Dampak Revolusi terhadap pemikiran Islam dan Pendidikan Islam
Konsep Kuhn tentang sains yang normal yang terdapat dalam bukunya “The Structure Of Scientific Revolution yang berpusat pada paradigma, telah mendobrak adanya citra suatu pencapaian ilmiah yang absolut, atau suatu yang mempunyai kebenaran seakan-akan suigeneris dan objektif. Kuhn menyatakan (Teori Kuantum) bahwa, pengetahuan tidak terlepas dari ruang dan waktu, serta menyanggah adanya pendirian posivitistik dan pendekatan yang dilakukan secara rasionalistik.[7]
Konsep dan pandangan Kuhn tentang science progres tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dengan revolusi besar menuju ke arah yang makin mendekati suatu kesempurnaan dan lebih sesuai dengan kondisi sejarah dan zaman.
            Dengan konsep paradigmanya yang fleksibel dan tidak ketat di satu sisi, mampu mendukung adanya tradisi-tradisi ilmiah dan melepaskan adanya ketergantungan observasi pada teori. Di sisi lain, sifat paradigma yang tidak sempurna dan tidak terbebas dari anomali-anomali, mampu mendorong terjadinya suatu revolusi science dan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat (Ilmu umum dan Ilmu Agama).
Paradigma lahir menurut zamannya
Setiap paradigma yang muncul adalah diperuntukkan mengatasi dan menjawab teka-teki atau permasalahan yang dihadapi pada zaman tertentu. Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentusaja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu    keharusan.
Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan. Perpaduan antara paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial yang masing-masing mempunyai perbedaan dan berlawanan diformulasikan dalam suatu paradigma yang utuh yang dapat memecahkan permasalahan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan zaman.
Dari hal tersebut mencerminkan adanya suatu kemajuan dalam bidang tertentu jika terjadi revolusi-revolusi yang ditandai adanya perpindahan dari paradigma klasik ke paradigma baru.
Aplikasi paradigma dalam pemikiran islam
            Mungkinkah revolusi yang ditandai konversi paradigma tersebut terjadi dalam ilmu-ilmu agama? Pertanyaan itu paling tidak mengingatkan kita pada sejarah penetapan hukum oleh salah satu imam mazhab empat yang terkenal dengan qaul qadim dan jadidnya. Adanya perubahan (revolusi) tersebut terjadi karena dihadapkan pada perbedaan varian kondisi ruang dan waktu.
Berpijak pada hal tersebut dan pola yang dikembangkan Kuhn maka sudah menjadi keniscayaan untuk menemukan paradigma baru dalam menjawab permasalahan dan tantangan zaman. Paradigma yang telah dibuat pijakan oleh para ulama terdahulu yang muncul sesuai dengan varian kondisi ruang dan waktunya serta kecenderungan profesionalnya perlu dipertanyakan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat terakhir ini. Hal ini juga dimanfaatkan oleh pemikir-pemikir islam seperti Hasan Hanafi dengan konsep kiri Islamnya, telah mencoba menawarkan paradigma baru dalam ajaran pokok Islam, yakni Tauhid.
Konsep atau ajaran Tauhid yang hanya dipandang dan dilekatkan pada ke-Esaan Tuhan perlu dirubah dan diperluas sebagai suatu konsep ketauhidan makhlukNya sehingga akan terbentuk pola kehidupan umat yang seimbang antara ritual dan sosial, lahir dan batin, dunia dan akherat. Sehingga umat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di dunia dengan baik. Dan masih banyak lagi bidang-bidang yang perlu adanya pengembangan paradigma baru. Maka dari itu menurut Hanafi, seringnya umat islam mendapat kekalahan disetiap pertempuran selalu berpatokan pada kerangka konseptual lama yang berasal dari kebudayaan klasik, dan hal tersebut harus diubah dengan konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.[8]
Kemudian pemikir muslim Indonesia Harun Nasution menawarkan adanya pembaharuan teologi. Sejalan dengan pandangan kaum modernis lainnya, Harun Nasution pada dasarnya juga menganggap bahwa adanya keterbelakangan dan kemunduran umat islam Indonesia adalah disebabkan “ada yang salah” dalam berteologi, dan harus dirubah dan segera kembali kepada teologi islam sejati. Panangan ini mengandung arti bahwa umat islam dengan teologi fatalistic, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam hendaklah mengubah teologi seperti itu menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri.[9]
Lain lagi dengan konsep Negara yang ditawarkan oleh Mohammad Natsir tentang istilah syuro dalam islam yang sering dikaitkan dengan perkembangan demokrasi masa modern sebagai theistic demokrasi sehingga mengakibatkan kepala Negara berfungsi sebagai eksekutif yang bekerja sama dengan legislative dalam penyelenggaraan suatu Negara. Padahal menurutnya, sumber kekuasaan dan legitimasi adalah Allah SWT. Dan manusia sebagai khalifah atau pemimpin yang bertugas menjalankan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan.[10]
 Kedudukan lembaga syuro ini menurut Natsir dianggap sangat penting, disebabkan oleh adanya ketentuan-ketentuan dalam ajaran islam supaya mengatur urusan mengenai orang banyak, penguasa harus harus mendapatkan keridhoan dari orang-orang yang diaturnya dan memusyawarahkan segala sesuatu mengenai kehidupan dan kepentingan rakyat. Bahkan menurutnya, musyawarah merupakan satu perintah agama.
Aplikasi Paradigma dalam Pendidikan Agama
Tidak terlepas dari pengaruh revolusi terhadap pemikiran Islam, maka dalam pelaksanaan pendidikan agamapun akan berubah sebagaimana perubahan dalam paradigma pemikiran Islam.
Dari segi Materi jelas akan mengikuti perubahan pemikiran Islam tersebut. Dan dari segi teori belajar, akan memiliki perubahan yang signifikan. Istilah paradigma identik dengan “skema” dalam teori belajar. Skema adalah suatu struktur mental atau kognisi yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema ini akan beradaptasi dan berubah seiring perkembangan mental anak.
Perubahan skema ini bisa mengambil bentuk asimilasi atau akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Senada dengan itu, mungkin yang tidak kalah penting istilah yang dipakai dalam rangka menemukan sesuatu yang baru untuk merubah cara pandang lama dalam hal pendidikan, terutama pendidikan agama islam adalah inovasi pembelajaran ( termasuk kurikulumnya ). Seperti yang dalam pandangan At-Taumi seperti yang dikutip oleh Sudiyono ; bahwa prinsip perkembangan dan perubahan dalam islam merupakan salah satu sumber yang harus dijadikan sumber pengambilan falsafah, prinsip, dasar, dan kurikulum. Karena menurutnya, kebanyakan tidak berhasilnya seorang guru dalam melaksanakan metode-metode pengajaran pendidikan islam hanya dilaksanakan dengan mengikuti apa yang sudah-sudah (taqlid) tanpa ada penyelidikan lebih lanjut. Oleh karena itu, menurut At-Taumi Islam sangat menggalakkan perkembangan yang membangun dan berguna, perubahan yang progresif dan bermanfaat, serta membolehkan sifat menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan yang berlaku dalam kehidupan.[11]
Jadi, metode (partisipasi) seorang pendidik dengan peserta didik yang seperti itu harus segera dirubah, karena dengan perkembangan tekhnologi seperti internet misalnya semua orang sudah dengan mudahnya mendapatkan info-info penting dan guru bukan lagi “dianggap” orang yang satu-satunya memiliki sumber pengetahuan, sehingga istilah teacher centered sudah dianggap tradisional dan perlu diubah dengan pendekatan baru learner centered.[12]
Disamping itu menurut Ngainun Naim dan Achmad Sauqi dari pernyataan Muhammad Abduh yang dikutip Azyumardi Azra ; bahwa pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan suatu perubahan. Dalam kerangka funsional yang demikian signifan, pendidikan harus diletakkan dalam posisi yang tepat dan diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara krtis dan kreatif, dengan demikian pendidikan akan menjadi suatu pengembangan paradigm intelektual, serta bisa diharapkan nantinya anak didik akan memiliki kesiapan mental dan kemampuan teoritik dalam menjalani kehidupannya yang senantiasa berubah dalam kompleksitas era modern.[13]
Pendidikan, sebagaimana ditegaskan Abdul Munir Mulkhan, merupakan model rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat masa depan. Dalam konteks pendidikan islam secara benar, dalam arti fungsional, terhadap problem kemanusiaan dan masyarakatnya akan menjadi sumbangan bagi realisasi manusia sebagai khalifah dalam melaksanakan tugasnya di bawah bimbingan wahyu dan uswah Nabi Muhammad Saw.[14]
            Fungsionalisasi pendidikan  Islam untuk mengembangkan potensi manusia yang handal tidak bisa terlepas dari peranan lembaga-lembaga yang ada. Karena, lembaga-lembaga pendidikan Islam mempunyai tugas penting untuk menciptakan suatu situasi yang dimana dalam proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan beban tugas yang diembannya.
            Jadi, untuk mewujudkan fungsionalisasi tersebut harus dibutuhkan usaha stimultan dan komprehensif. Selain sebagai nstitusi penddikan, sekolah juga merupakan sebuah unit sosial. Karena di dalamnya terdiri dari banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendidik peserta didik dan mengatarkan menuju fase kedewasaan. Maka langkah penting yang dapat dilakukan untuk mewujudkan fungsionalisasi Pendidikan Islam sebagaimana menurut Mastuhu yang dikutip oleh Ngainum Naim dan Achmad Sauqi adalah dengan melakukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah dengan merubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.[15]
            Berikut kelompok tiga dimensi yang dikelompokkan oleh Dennis Sale seperti yang dikutip M.Taufiq Amir tentang pendekatan pembelajaran dan pemberdayaan pemelajar.[16]
 









            Yang ingin dicapai dengan pemberdayaan pembelajaran adalah dari tiga dimensi tersebut adalah ; Dalam dimensi pengetahuan (knowledge), peserta didik dijadikan sebagai actor utama saat proses pembelajaran berlangsung. Peserta didiklah yang lebih banyak mencari, memperoleh, menggabungkan berbagai sumber informasi yang akan menjadi pengetahuan mereka . dan mereka mengkonstruk seniri berbagai konsep yang dipelajarinya dari berbagai sumber asli. 
Kalau kita ketiga dimensi  tersebut dapat kita lakukan secara berulang dengan niat menjadi tepat dalam menerapkan metode, maka kita sudah menambahkan dimensi berikutnya dari pembelajaran, yakni perubahan pada seseorang. Bukan saja perubahan terjadi pada aktivitas fisik, tetapi sekaligus perubahan pada cara berpikir. Begitu pula untuk dimensi berpikir (thinking), peserta didik bukan lagi penerima pasif atas” pemikiran-pemikiran” pendidiknya. Mereka bukan hanya sekedar merasa dan melihat dengan jelas, seperti apa pemikiran pendidiknya atas sebuah konsep, namun harus dipastikan bahwa mereka bisa melihat dengan jelas “pemikirannya” sendiri, sehingga mereka menjadi kreatif untuk melihat lebih banyak opsi-opsi yang muncul, dan tidak menutup kemun gkinan mereka juga bisa menghasilkan berbagai variasi bahkan menemukan gagasan-gagasan yang orisinal. Cara berpikir mereka seperti  itu sekaligus juga  metakognitif; memonitor, mengevaluasi, dan mampu merevisi pemikirannya sendiri.  Dengan cara ini juga mereka akan menjadi kritis, tahu menganalisis berbagai komponen dan hubungan yang ada dalam sebuah konsep, bisa membandingkan dan melihat perbedaan dari pilihan yang ada. Merekapun bisa menafsirkan serta membuat kesimpulan dengan lebih baik. Sedangkan pada dimensi melakukan (doing), artinya para peserta didik harus tahu bahwa mereka harus melakukan “latihan” terus. Tentu saja hal ini bukan hanya sekedar latihan fisik akan tetapi juga pikiran. Mereka akan sadar kalau mau mendapatkan informasi lebih banyak harus, terampil menggunakan “mesin” pencari informasi seperti internet, kalau mau kompeten dalam berkomukasi haruslah “tampil” sebagai pembicara, dan kalau mau melatih argument, harus menuangkannya dalam tulisan dan selalu merevisinya, dan kalau sedang mendengarkan “ceramah” harus mencoba “kritis’ tidak hanya menerima apa yang disampaikan.
            Tentu saja pemberdayaan tersebut menjadi mustahil tanpa peran pendidik. Pemberdayaan semacam itu bukanlah ‘melepas’ begitu saja peserta didik untuk menjalankan ketiga dimensi yang dimaksud. Seorang pendidik tetap memiliki peranan yang penting. Bila memang peserta didik perlu akses terhadap pengetahuan tertentu, seorang pendidik menunjukkan trik dan tipnya, kalau memang harus terampilberpikir, maka seorang pendidik harus mendorongnya dengan budaya berpikir dengan cara; (misalnya) member pertanyaan yang menyelidik, menanyakan alas an-alasan, meminta perbandingan, dan tentunya menciptakan suasana yang interaktif dengan sesame peserta didik. Sehingga pendidik akan menjadi fasilitator yang sesungguhnya.

PENUTUP
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas, revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah, dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset.
Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan.
Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal.
Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali.
            Untuk itu,  pemikir muslim juga menawarkan adanya pembaharuan dalam segala lini kehidupan (pemikiran Islam ataupun pendidikan Islam). Sejalan dengan pandangan kaum modernis lainnya, bahwa pada dasarnya juga menganggap bahwa adanya keterbelakangan dan kemunduran umat islam disebabkan “ada yang salah” dalam di dalam menerapkan konsep-konsep yang di’berikan’ oleh ajaran Islam, makanya harus dirubah dan segera kembali kepada pemahaman atau ajaran islam sejati. Pandangan ini mengandung arti bahwa umat islam selama menerapkan konsep-konsep usang serta prinsip ‘penyerahan nasib’ hanya membawa kepada  kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam hendaklah mengubah cara pandang yang baru berwatak free-will, rasional, serta mandiri.
            Suatu perubahan itu terjadi manakala suatu paradigma yang lama dan mapan kemudian mengalami anomaly, krisis, revolusi, dan kemudian muncul paradigma baru lagi yang lebih mapan dari paradigma lama. Wallahu ‘alam bi shawwab.
           
DAFTAR PUSTA


Dr. Abdul Rozak, M.Ag. Dkk. 2010. Ilmu Kalam Islam. Pustaka Setia. Bandung.
Drs. K.H. Abdul Hamid, M.Ag. Dkk. 2010. Pemikiran Modrn dalam Islam. Pustaka Setia. Bandung.
Drs. H.M. Sudiyono. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Rineka Cipta. Jakarta.
Greg Soetomo. 1997. Sains dan problem Ketuhanan. Kanisius. Yogyakarta.
M.Taufiq Amir. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Ngainun Naim, dkk. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Arr-Ruzz Media. Jogjakarta.
Thomas S. Kuhn. 2002. The structure of Science Revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Remaja Rosda Karya.Bandung.












Catatan ringan :
Esotoris (meaning, esensi atau nilai-nilai) dan eksotoris (kognitif, pehaman, syariat) :
Otoptis (tidak mungkin dilakukan)
Tujuan beragama: membanguun sebuah nilai
Particular ( bermacam-macam)
Membangun  karakter didakhanya berawal dari didikan agama






[1] Greg Soetomo. 1997. Sains dan problem Ketuhanan. Kanisius. Yogyakarta. Hal.20
[2] Ibid. Hal.21
[3] Thomas S. Kuhn. 2002. The structure of Science Revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Remaja Rosda Karya.Bandung. Hal. 22

[4] Greg Soetomo. 1997. Sains dan problem Ketuhanan. Kanisius. Yogyakarta. Hal.19
[5] Lih. Shapere. The Structure of Scientific Revolutions, dalam Gutting (ed), Paradigms and Revolutions, Notre Dame, University of Notre Dame Press, 1980, Hal. 33-37
[6] Thomas S. Kuhn. 2002. The structure of Science Revolution(Peran Paradigma dalam Revolusi Sains).Remaja Rosda    Karya.Bandung. Hal. 91
[7] Greg Soetomo. 1997. Sains dan problem Ketuhanan. Kanisius. Yogyakarta. Hal.23

[8] Dr. Abdul Rozak, M.Ag. Dkk. 2010. Ilmu Kalam Islam. Pustaka Setia. Bandung. Hal. 234
[9] Ibid. Hal. 242
[10] Drs. K.H. Abdul Hamid, M.Ag. Dkk. 2010. Pemikiran Modrn dalam Islam. Pustaka Setia. Bandung. Hal. 368
[11] Drs. H.M. Sudiyono. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Rineka Cipta. Jakarta. 239
[12] M.Taufiq Amir. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Hal. 3
[13] Ngainun Naim, dkk. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Arr-Ruzz Media. Jogjakarta. Hal. 35
[14] Ibid. Hal. 36
[15] Ibid. Hal. 38
[16] M.Taufiq Amir. 2009. Op.Cit. Hal. 9