Senin, 31 Oktober 2011

PENDIDIKAN ISLAM DAN MULTIKULTURALISME


ISU-ISU KOTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM DAN MULTIKULTURALISME
DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. SYAMSUL ARIFIN, M.Si
OLEH : MUHAMMAD SYARIF
NIM : 201010290211003

Pendahuluan
            Mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki wilayah yang membahas suatu bentuk pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan universal tentang pendidikan yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam, melainkan kita dituntut untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu yang relevan dengan ilmu tersebut. Melakukan pemikiran filosof pada hakikatnya adalah usaha untuk menggerakkan semua potensi psikologis manusia, seperti ; pikiran, kecerdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca indera tentang gejala kehidupan, terutama manusia dan alam sekitarnya (lingkungan pendidikan).
Filsafat pendidikan pada umumnya dan filsafat pendidikan Islam pada khususnya, adalah bagian dari ilmu filsafat. Maka dalam mempelajari filsafat, perlu memahami terlebih dahulu tentang pengertian filsafat terutama dalam hubungannya dengan masalah pendidikan (pendidikan Islam). Secara harfiah, filsafat berarti “cinta kepada ilmu” yang berasal dari kata philo (cinta) dan sophos (ilmu/hikmah). Secara historis, filsafat menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang berkembang sejak zaman Yunani kuno sampai zaman modern sekarang. Huzayyin Arifin (2010 : 3)
Bila dilihat dari fungsinya, filasafat pendidikan Islam merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, filsafat juga memberikan gambaran tentang sampai dimana proses tersebut dapat direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut bisa dilaksanakan.
Dalam era keberagaman (multicultural) seperti sekarang ini, sangat diperlukan sekali adanya kebijakan re-orientasi (konsepsi masyarakat madani) dalam pembelajaran agama (pendidikan Islam). Karena dengan konsepsi semacam itu, terutama melalui proses pembelajaran yang berlangsung dalam institusi formal, apa yang dipandang mutlak dalam agama akan dibakukan atau diobjektivitasikan yang akan mampu mempertahankan keaslian doktrin yang berkaitan dengan kemutlakan, dan mampu untuk memperkaya khazanah epistemologi keagamaan, yakni lahirnya ilmu-ilmu keagamaan yang secara sosiologisnya  mempermudah dan memperkokoh ikatan primordial komunitas beragama.
Sesuai dengan fungsinya tersebut, filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kritik-kritik tentang medote-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam serta memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan agar tercipta lingkungan sekolah yang kondusif dan sadar akan keberagaman, serta mampu melahirkan peserta didik yang betul-betul mempraktikkan nilai-nilai Islam.
Akhir-akhir ini, kekerasan antar kelompok yang terjadi secara sporadis diberbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun, betapa kentalnya prasangka antar kelompok dan betapa rendahnya sikap saling pengertian mengakibatkan bertambahnya kompleksitas persoalan keragaman dan hubungan antar kelompok dan tidak menutup kemungkinan, persoalan-persoalan ini akan berimbas kepada peserta didik (yang mengambil contoh) bisa memicu terjadinya konflik-konflik kecil seperti percekcokan sampai pada perkelahian antar pelajar (homogen) yang bisa berimbas kepada masyarakat luas.
Dalam konteks itulah wacana multikulturalisme melalui pendekatan filsafat dijadikan sebagai sarana untuk membangun toleransi atas keragaman yang ada. Karena telah diketahui bersama, asas filsafat adalah membimbing dan memberi arah kesemua asas pendidikan lainnya dan menyelaraskannya. Hal ini terjadi karena filsafat memiliki karakter ; (1) memiliki sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, (4) filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti konsep, (5) filsafat berisi sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Abuddin Nata (2009 : 99).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat bukan hanya memberikan sumbangan berupa prinsip-prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah pendidikan, melainkan juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu sendiri, yakni logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, alam, dan sebagainya. Hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah, dengan karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan (pendidikan Islam).
Multikulturalisme
            Istilah multikulturalisme diambil dari kata “multicultural” menjadi “multiculturalisme”, sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kanada pada sektar tahun 1950-an. Kata “multicultural” juga menurut Kymlicka yang dikutip Fahri Hamzah (2011 : 117), seringkali digunakan dalam arti yang lebih luas. Namun istilah tersebut tetap menekankan pada konsep tentang sejumlah kelompok sosial nonetnis, yang karena berbagai alasan, dikucilkan atau dikesampingkan dalam aliran utama masyarakat. Kymlicka menekankan pengucilan dan pengesampingan itu sebagai fenomena yang tampak dalam masyarakat modern, dimana multikulturlisme yang direpresentasikan dengan adanya kelompok budaya minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka serta diterima perbedaan budaya mereka, hadir sebagai tantangan bagi masyarakat modern.
            Multikulturalisme menurut Donny Gahral Adian yang dikutip Fahri, pada dasarnya dapat dipahami ke dalam pelbagai pemahaman. Antara lainnya ; pertama, pemahaman politis. Kalangan politisi memahami multikulturaisme sebagai majemuknya masyarakat secara cultural yang menimbulkan pelbagai persoalan sosial yang menuntut kebijakan-kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program asimilasi). Kedua, pemahaman akademis. Pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada filsafat postmodernisme dan cultural studies yang menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme, kemajuan diatas kesatuan. Selain itu, isu-isu multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain : konsep budaya, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik liberalisme, toleransi, dan solidaritas.
            Berdasarkan pada pemahaman tersebut  sangat jelas sekali, bahwa masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari dan perlu adanya sebuah konsensus untuk bisa melayani aspirasi dan hak-hak dari masing-masing anggota masyarakat. Karena justru dalam keragaman itulah tekandung nilai-nilai yang penting bagi pembangunan eksistensi manusia, sesuai dengan  apa yang telah disuratkan oleh Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Nisa’ : 1 dan Q.S. Al-Rum : 22.
            Senada dengan hal tersebut, Yasraf Amir Pialang menafikkan adanya masyarakat yang multicultural pluralis, karena menurutnya masyarakat yang demikian dapat menjerumuskan kepada sifat balkanisasi kebudayaan. Dan menawarkan paradigma baru yaitu multicultural transformatif. Karena menurutnya, dengan multikultural transformatif sebuah masyarakat diarahkan untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan (primordialisme) secara kaku. (Fahri Hamzah : 2011 : 120).
            Dalam konteks keragaman , keberagamaan seorang multikulturalis dalam keragaman menjadi sangat penting. Karena apapun organisasi keberagamaannya maupun afiliasi organisasi manapun yang menjadi pendiriannya, cenderung tidak melihat dan mengedepankan masalah keagamaan dan nonkeagamaan secara hitam putih, benar atau salah, murni atau tidak murni, melainkan memandang dan memaknai suatu masyarakat sebagai bentuk adanya relativisme budaya. Hal ini, memakai istilah Fahri Hamzah, bahwa seorang multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan, atau paling tidak seorang multikulturalis tidak mengklaim kebenaran yang dianutnya sebagai relatively absolute.
            Senada dengan hal itu, Marc Howard Ross yang dikutip Fahri Hamzah menyatakan masyarakat multikulturalime sering kali juga dimaknai sebagai bentuk masyarakat yang meyakini adanya relativisme budaya, yang pada titik radikalnya (radical status) akan bermakna sebagai paham atas absolutisme budaya. Keanekaan budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini merupakan konsistensi yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada tingkat praktis, masyarakat multikultural juga menunjuk kemungkinan “penyesuaian budaya” atau “dialog budaya” dalam pengalaman individual maupun kelompok.
           
Pendidikan Islam
            Pendidikan Islam adalah studi tentang proses kependidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.
            Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
            Dalam perspektif Islam, potensi diri manusia tersebut diistilahkan dengan fitrah manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya.
            Bertolak dari pandangan Islam tentang manusia tersebut, menurut Muhammad Tolchah Hasan yang dikutip Muhaimin, upaya pendidikan disamping berusaha untuk mengembangkan potensi-potensi fithrah manusia, juga berusaha menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia, serta menyelaraskan fitrah mukhalafah dan fitrah munazzalah dalam semua aspek kehidupannya.
            Pada umumnya, Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia tersebut, juga harus dilakukan secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan secara bertahap dan terus menerus (kontiunitas). Suatu proses yang diinginkan dalam usaha kependidikan sebagaimana dimaksud adalah proses yang terarah dan bertujuan, yakni usaha untuk mengarahkan peserta didik kepada arah yang optimal sesuai dengan kemampuannya, dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu terbentuknya kepribadian peserta didik yang utuh dan mantap  sebagai manusia yang taat.
            Dari kalangan pemikir Islam sebagai pemerhati pendidkan terutama pendidikan Islam, memberikan definisi pendidikan Islam secara bervariasi. Antara lain: 
1.      Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Tauny al-Syaebani memberikan definisi, bahwa pendidikan Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan… perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam. (Muzayyin Arifin, 2010 : 15).
      Jadi, kalau kita bawa ke lingkungan institusi formal seperti sekolah, dari devinisi tersebut dapat dirumuskan, bagaimana kiat dan usaha para pendidik itu sendiri bisa memoles peserta didik  agar mampu mengenal siapa dirinya, dan bagaimana dia mampu mengaplikasikan pengetahuan yang didapatnya untuk menyeimbangkan tingkah lakunya dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya dengan nilai-nilai yang baik (Islam).
2.      Lebih terperinci, Zarkowi Soejoeti yang dikutip Ngainun Naim & Achmad Sauqi (2010 : 32), memberikan beberapa pengertian pendidikan Islam, antara lain; Pertama,  jenis pendidikan dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas.  Dalam hal ini, Islam ditempatkan sebagai sumber nilai dan sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan.
Dari ketiga pengertian pada poin dua di atas, dapat dipahami bahwa persoalan pendidikan Islam bukan saja mengenai ciri khas suatu lembaga maupun memasukan pelajaran agama sebagai bidang studi “baku” dalam kurikulum, melainkan bagaimana pendidikan Islam yang menyangkut hal fundamental dan urgensi bagi peserta didik bisa mengarah ketujuan yang diinginkan dan diyakini sebagai paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya dapat diistilahkan sebagai peserta didik yang “insan kamil”.
            Jadi,  pendidikan  memiliki  kaitan  erat  dengan setiap perubahan peseta didik, baik menyangkut kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Untuk itu, dalam kerangka fungsional seperti itu, pendidikan Islam harus diletakkan dalam posisi yang tepat, yakni diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara kritis dan kreatif. Karena hal ini merupakan bentuk pemahaman dan pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Disinilah nantinya diharapkan muncul seperangkat nilai dan norma yang terlembagakan dalam hukum obyektif maupun tradisi yang menjadi control social kearah perkembangan masyarakat yang utuh.
            Lebih lanjut, pendidikan Islam di sekolah pada dasarnya berusaha untuk bagaimana membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, yang tidak hanya difokuskan pada aspek pemahaman (tentang agama) semata, tetapi bagaimana usaha pendidikan agama (Islam) mampu menanamkan perilaku khalq dan khuluqnya, dengan mengetahui ajaran agama (knowing), kemudian mempraktekkan tentang apa yang diketahuinya (doing), dan mampu beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama (being). Muhaimin (2009 : 306)
Pendidikan Islam dengan pendekatan filsafat
Pendidikan merupakan salah satu bentuk ilmu terapan (appliet), tempat bertemunya hasil-hasil berbagai asas filsafat membimbing dan memberi arah kepada semua asas pendidikan lainnya dan menyelaraskannya. Hal ini karena filsafat merupakan bidang garapan ilmu yang memiliki berbagai karakter, seperti menurut  Jalaluddin dan Said dalam Abudin Nata (2009),  antara lain ; (1) filsafat memiliki sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, (4) filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti konsep, (5) filsafat berisi sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat.
Lebih lanjut, Imam Barnadib dalam Abuddin Nata (2009) menyatakan bahwa filsafat juga memiliki karakter-karakter sebagai ciri khasnya. Antara lain ;
(1) bahwa filsafat memiliki pandangan yang menyeluruh dan sistematis. (2) filsafat juga mengedepankan berpikir secara sadar, teliti, dan teratur sesuai dengan hukum-hukum yang ada.
Dari karakter-karakter filsafat sebagaimana tersebut di atas, maka pendekatan dengan filsafat sangat tepat kiranya untuk menjawab semua isu-isu keragaman akhir-akhir ini. Sebab, dengan hal seperti itu manusia (peserta didik) bukan hanya meyakini wahyu yang diturunkan dengan mendalaminya secara tekstual saja tanpa membarenginya dengan kajian yang kritis dan pantas berdasarkan fakta-fakta yang ada di lingkungan sekelilingnya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat bukan hanya sekedar memberikan sumbangan berupa prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah, melainkan juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu sendiri, yaitu; logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, masyarakat, alam, dan sebagainya.
Jadi sangatlah jelas, bahwa dengan memahami serta menerapkan  aspek-aspek tersebut, peserta didik akan mampu mengenal lebih jauh lagi tentang eksistensi dan tujuannya diciptakan, dan secara sekaligus akan cakap dalam kognitif, afektif serta psikomotor.
 Jalaluddin & Abdullah memberikan penjelasan bahwa hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah dengan karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh pendidikan, mengingat apa yang menjadi obyek filsafat juga menjadi obyek pendidikan.
Dengan demikian, hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat. Kuatnya hubungan tersebut disebabkan karena kedua disiplin ilmu tersebut meghadapi problema-problema filsafat secara bersama-sama. Imam Barnadib sebagaimana dikutip, lebih lanjut mengatakan, bahwa hasil pemikiran filsafat tentang berbagai hal tersebut dapat digunakan dengan baik. Hal yang penting lainnya adalah bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan perlu diketahui tentang pandangan dunia (world vieuw) terhadap pendidikan yang diperlukan masyarakat pada masanya. Pengetahuan tentang pandangan dunia ini termasuk kajian metafisika dalam filsafat. Demikian pula dengan keberadaan kajian tentang epistemologi, aksiologi, dan logika yang terdapat dalam filsafat amat diperlukan bagi pengembangan ilmu pendidikan. (Abuddin Nata, 2009 : 101).
Pendidikan Multikultural
            Pendidikan Islam memang merupakan suatu upaya pendidikan dan ajaran nilai-nilai Islam menjadi way of life seseorang. Namun demikian. Sebagai pandangan dan sikap hidup, nilai-nilai tersebut akan bisa berimplikasi positif maupun negatif, sebab penanaman konsep nilai semacam itu berpotensi mewujudkan pada sikap integrasi atau disintrgrasi, berpotensi mengarah pada sikap toleran atau intoleran. Fenomena-fenomena tersebut tidak menutup kemungkinan akan banyak ditentukan setidaknya oleh  pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayatai agama tersebut; lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; dan peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pengikutnya. (Muhaimin, 2009 : 46)
Fenomena-fenomena tersebut akan muncul apabila pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan scriptural,karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru agama yang bersifat doktriner, rigid  dan mengembangkan sikap fanatisme buta serta dukungan oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap-sikap intoleran dan agama diposisikan sebagai faktor diintegratif atau intoleransi.
Dalam rangka merespons tantangan dunia pendidikan tersebut, maka pengembangan pendidikan sangatlah tepat apabila bisa diterapkan dalam dunia pendidikan (lembaga sekolah). Karena pendidikan multicultural sebagaimana disebutkan Ainurrafik Dawam, yakni proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghadapi pluralitas dan heterogenitanya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). (Ngainun Naim & Achmad Sauqi, : 2010 : 50).
Dengan demikian,  pendidikan seperti itu, peserta didik diharapkan memiliki rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia tanpa memandang latar belakang kehidupannya.
Secara terperinci, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam pluralis-multikultural tersebut, antara lain : pertama, pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Kedua, pendidikan pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-multikultural yang ada. Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self  kepada setiap anak didik. (Ngainun Naim & Achmad Sauqi, : 2010 : 54).
 Dengan demikian, pendidikan Islam pluralis-multikultural akan mampu menumbuhkan kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang dimilikinya.
Lebih lanjut, selain ketiga aspek tersebut menurut A. Malik Fadjar pendidikan Islam perlu untuk dikembangkan lagi ke arah : (1) pendidikan Islam Multikulturalis, yakni pendidikan Islam dikemas dalam watak multicultural, ramah menyapa pebedaan budaya, social dan agama; (2) mempertegas misi penyempurnaan akhlak (liutammima makarimalakhlak); dan (3) spiritual watak kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab. (Muhaimin, 2009 : 47).
 Untuk mewujudkan upaya-upaya tersebut, diharapkan kepada guru selaku pendidik untuk mau berusaha meningkatkan, memperkuat serta memperluas wawasan keislaman peserta didik, karena dengan keluasan wawasan keislaman tentang  keberagaman, akan berimplikasi pada sikap husnudzan serta akan memiliki akhlakul karimah, baik terhadap sesama agama maupun kepada orang lain.

Penutup
Kesimpulan
1.      masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari.
2.      Paradigma multikultural transformatif merupakan pandangan atau usaha yang bisa mengarahkan masyarakat untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan (primordialisme) secara kaku.
3.      Pada umumnya, Pendidikan merupakan bentuk usaha yang dilakukan untuk membina dan mengembangkan pribadi manusia (peserta didik) secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses pendidikan.
4.      antara filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat, karena apapun persoalan yang dihadapi ilmu pendidikan yang menyangkut kajian  epistemologi, aksiologi, dan logika terdapat dalam filsafat.
5.      Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman, dan sebuah bentuk  usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-multikultural yang ada. 
6.      Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan bentuk pendidikan yang bisa menumbuhkan kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang dimilikinya.
7.      Pendidikan Islam Multikulturalis, merupakan bentuk pendidikan yang  mempertegas adanya misi penyempurnaan akhlak dalam Islam (liutammima makarimalakhlak) yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Wallahu ‘alam bi shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi), Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan Kelima, 2010.
Hamzah, Fahri, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, __ : Yayasan Faham Indonesia, Cetakan Kedua, 2011.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Naim, Ngainun & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, Cetakan II, 2010.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan : Pendekatan Multidisipliner Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.





           
           


PENDIDIKAN KARAKTER


Pengertaian Karakter
            Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.[1] ; Dalam Kamus Psikologi (Daulay, 2009) di definisikan “a consistent and enduring property or quality by means of wchich a person, object, or event can be identified” (Chaplin, 1973:79).[2] ; Dalam Kamus Filsafat karakter di definisikan, character (bahasa Yunani, character, dari charassein, menajamkan, mengukir, tanda atau bukti yang dicetak pada sesuatu untuk menunjukkan hal-hal seperti kepemilikan, asal-usul, nama atau merek). Crhacter mempunyai arti: 1) Sebutan bagi jumlah total sifat seseorang,yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, hal-hal yang tidak disukai, kemampuan, bakat, potensi, nilai, dan pola pikir. 2) Struktur yang terkait secara relatif atau sisi sebuah kepribadian yang menyebabkan sifat seperti itu. 3) Kerangka kerja sebuah kepribadian yang secar relatif telah ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat tertentu itu dalam meujudkan dirinya. (Kamus Filsafat, 1995: 50-51).[3]         
            Menurut Simon Philips (2008) karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu system, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.[4]
            Bila disimpulkan, pengertian karakter berarti sikap mental yang menjadi watak, tabiat, dan bawaan seseorang yang menjadi dasar dari tindakan maupun perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
            Jadi istilah pembentukan karakter dari pengertian karakter dalam penelitian ini adalah usaha maupun proses yang dilakukan oleh  pihak sekolah dalam mengarahkan, membimbing dan mendidik peserta didik yang bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti  dengan membentuk sistem kepercayaan dalam pola pikir[5] peserta didik yang akan mempengaruhi perilaku maupun karakternya sesuai dengan nilai atau norma-norma Islam.
Unsur-unsur Karakter
            Unsur penting yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada peserta didik adalah unsur dimensi manusia secara psikologis dan sosiologis. Karena kedua unsur tersebut akan sangat memudahkan guru selaku transformator untuk dapat membimbing, membina, sekaligus mendidik peserta didik kepada suatu karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan.
            Fatchul Mu’in (2011), memasukkan unsur tersebut ke dalam; sikap, emosi, kepercayaan, kebiasaan dan kemauan, dan konsep diri (self-conception). Kelima unsur inilah menurutnya yang perlu ditanamkan kepada peserta didik sehingga pertumbuhan dan perkembangan karakter peserta didik ke arah tujuan yang diinginkan akan tercapai.
1.      Sikap
Sikap merupakan konsep yang menjadi predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perilaku tertentu sehingga sikap bukan hanya berupa gambaran kondisi internal psikologis yang murni dari individu, melainkan sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual.
Keth Harrel mendefinisikan sikap dengan mengutip American Herritage Dictionary, bahwa sikap adalah cara berpikir atau merasakan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan. (Mu’min, 2011: 168)
2.      Emosi
Kata emosi diadopsi dari bahasa latin emovere (e berarti luar dan movere berarti bergerak), dan dalam bahasa Perancis emouvoir yang berarti kegembiraan. Jadi emosi bisa diartikan sebagai gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis[6]. Misalnya, saat kita merespons sesuatu yang melibatkan emosi, maka pada saat itu juga kita mengetahui makna apa yang kita hadapi (kesadaran). Emosi juga identik dengan perasaan yang kuat.
Daniel Goleman (Mu’in: 2011), memberikan pengertian emosi sebagai kemampuan jiwa manusia untuk merasakan gejala yang disebabkan pengaruh dari luar sehingga menyebabkan marah, sedih, takut, nikmat, cinta, kaget, jengkel, dan perasaan malu. Lebih lanjut Goleman menyatakan bahwa emosi adalah sebagai bagian dari kecerdasan, karena emosi merupakan komponen yang tak terpisahkan dari kecerdasan walaupun emosi bukanlah kecerdasan. Akan tetapi dengan emosi bisa mendukung kecerdasan maupun kebodohan. Belakangan ini, banyak para ahli yang mengusung adanya kecerdasan emosional, suatu langkah mencerdaskan diri dengan memaksimalkan manajemen emosi, dan mencoba mengkritik efek-efek buruk dari penggunaan kecerdasan intelektual semata.
Kata emosi yang mendapatkan konotasi negatif, mendapatkan kritikan dari Erich Fromm, ia menyatakan bahwa tidak selamanya emosi itu negatif. Karena menurutnya sebagian masyarakat masih banyak yang belum mampu memelihara dan mendorong emosinya   keranah keberadaannya yang tepat kepada pemikiran yang kreatif (kecerdasan) sehingga menghasilkan sentimentalis[7] dan sifat yang tidak idealisme[8].
3.      Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari factor sosiopsikologis, artinya sesuatu itu dianggap “benar” atau “salah" berdasarkan bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi. Jadi sebagian kepercayaan itu terbentuk oleh pengetahuan. Kepercayaan memberikan prespektif pada manusia dalam memandang kenyataan dan ia memberikan dasar bagi manusia untuk mengambil pilihan dan menentukan keputusan. Apa yang kita ketahui membuat kita menentukan pilihan karena kita percaya apa yang kita ambil berdasarkan apa yang kita ketahui.
Secara epistemologis,  kebenaran pengetahuan manusia diperoleh melalui tiga cara, yaitu;  pengetahuan sains yaitu kebenarannya ditentukan secara logis dan bukti empiris (eksperiman), pengetahuan filsafat[9] yaitu kebenaran itu diukur dengan logis atau tidak logis, dan pengetahuan mistik yaitu kebenaran diukur atau ditentukan oleh rasa, yakin, dan kadang-kadang empiris.
Membangun kepercayaan sangat berguna dalam suatu hubungan. Jika hubungan memiliki basis kepercayaan yang kuat, maka hubungan itu akan baik.
4.      Kebiasaan dan kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari factor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Kebiasaan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulang berkali-kali.
Sedangkan kemauan erat kaitannya dengan tindakan manusia, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richard Dewey dan W.J. Humber (Mu’in: 2011), mendefinisikan kemauan sebagai hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi.
5.      konsep diri (self-conception)
proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak yang dilakukan dalam usaha bagaimana karakter dan diri itu dibentuk. Konsepsi diri adalah tentang bagaimana manusia itu harus membangun dirinya, apa yang diinginkannya, dan bagaimana cara menempatkan dirinya dalam kehidupan.
Dalam ilmu psikologi sosial, konsep diri berkaitan dengan fakta bahwa manusia tidak hanya menanggapi orang lain, tetapi juga bagaimana manusia itu meresepsi dirinya sendiri. 
Menurut Chrales Horton Cooley, manusia dalam banyak hal disebutkan dalam teorinya sebagai gejala looking-glass self  yaitu membayangkan dirinya sebagai orang lain di dalam benaknya sehingga munculah penilaian bahwa sebelum mengenal diri kita, terlebih dahulu kita harus mengenal orang lain. Dan inilah yang disebut dengan konsep diri atau self-conception.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai, “Those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we had derived from experiences and our iteraction with others.” Terbentuknya fisik, hubungan social dan kejiwaan manusia sangat dipengaruhi oleh pengamatan dan pemahamannya dari pengalaman dan interaksinya dengan orang lain.
Dalam ilmu psikologi social, konsep diri dibagi kedalam dua komponen penting, yaitu komponen kognitif[10] dinamakan “citra diri” (self-image), dan komponen afektif [11]dinamakan “harga diri” (self-esteem). Kedua komponen tersebut sangat berperan dalam membangun karakter, yang berkaitan dengan tingkah laku dan cara berkomunikasi dengan orang lain.
Jadi, harga diri dan citra diri merupakan dua komponen yang harus dimilikioleh manusia, karena harga diri yang rendah akan membuat citra diri seseorang juga rendah. Pada akhirnya membuat seseorang kehilangan kesadaran bahwa dirinya memiliki potensi (komponen afektif) untuk mengubah diri menjadi lebih baik.


[1]     Ibid, Hal. 104
[2]    Daulay, Haidar Putra, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesi, Jakarta: Rineke Cipta, Hal. 132
[3]    Ibid, Hal. 132
[4]Mu’in, Fatchul, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, Ar-Ruzz Media: Jogjakarta. Cet. I, 2011, Hal. 160
[5]              Tentang pola pikir, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda, yang kemudian membedakan kedalam dua istilah yaitu; pertama, pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif, dan kedua pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Dan selanjutnya,  Adi W. Gunawan memberikan pemahaman dari pikiran sadar dan bawah sadar kedalam fungsinya masing-masing. Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian konteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif. Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal. Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar. ( http://www. Google.teori-pembentukan-karakter )
[6] Fisiologis adalah keadaan manusia pada saat marah dan tegang, dimana pada saat itu jantung akan berdebar dan berdetak cepat. Maka pada saat itulah kita akan segera melakukan reaksi terhadap apa yang menimpa kita
[7] Sentimentalis artinya mudah rapuh perasaannya, yang pada akhirnya mengantarkan orans tersebut tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap orang lain maupun pada lingkungannya
[8] Tidak idealisme disini arti sederhana yang diberikan oleh penulis merupakan sikap yang tidak mau menerima dan menghayati ukuran-ukuran moral atau sikap yang tidak mau menerima suatu rencana atau program untuk kemaslahatan.
[9] Fisafat berarti berusaha menemukan  kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius. (Tafsir: 2010)
[10] -54    Komponen kognitif misalnya kita mengatakan “Saya iniorang yang tidak berguna, selalu menyusahkan orang lain”. Dan komponen afektif misalnya kita mengatakan “Saya tidak bisa menjadi orang seperti ini terus, bagaimanapun saya harus mandiri agar tidak menyusahkan orang lain”. (Fatchul Mu’in, 2011: 180)